“Allahummaghfirlii dzunubi waliwalidayya, warhamhuma kamaa
rabbayaanii soghiiro.” Masih lekat sekali ingatan itu, saat kecil dulu, saya
bersama teman-teman sepantaran, berebut mic, ingin menyumbangkan suara emasnya
dengan syair doa ini menjelang shalat wajib di masjid. Ah, terlalu indah
kenangan itu untuk dibayangkan sekarang ini. Jangankan berebut microphon, azan-azan diberbagai masjid
pun sekarang hanya dipenuhi suara kakek-kakek.
Saat magrib selesai ditegakkan, anak-anak dan pemuda-pemudi
sudah berkumpul di depan masjid. Jika ini adalah hari kamis, mereka melaksanakan
‘yaasinan dan barjanjian’. Sekedar membaca Surah Yaasin dan tahlil bersama, dilanjutkan mendendangkan shalawat barjanji, hingga menyetorkan sedikit tabungan dan makan bersama mencicipi
hidangan rejeki dari Tuhan melalui tuan rumah.
Dan tidak dapat dipungkiri. Keuntungan
dari tradisi tersebut luar biasa. Pertama, acara yang diselenggarakan secara
bergilir dari rumah ke rumah setiap kamis malam ini tentu mempererat persaudaraan mereka. Silaturahmi tepatnya, siapa sih yang meragukan keistimewaan budaya
islam satu ini? Kedua, tabungan yang dibuka tiap awal Ramadhan ini sangat menguntungkan,
iming-iming beli baju lebaran baru, telah melatih mereka untuk menabung dan
saling berbagi, karena tentunya ada berapa persen untuk sedekah. Dan yang
paling bombastis, anak-anak kelas dua
atau tiga SD telah berhasil menghafal Surah Yaasin dengan lancar dan benar.
Tapi sayang, semua itu hanya kala itu. Lagi-lagi meski acara ini masih
berlangsung, tapi pemuda mana yang mampu menyisihkan harinya untuk semua ini?
Apalagi di kota kembang, Bandung ini. Nongkrong, jadi tradisi silaturahmi yang
lebih istimewa.
Dan saat pagi hari, saat cahaya fajar bersinar remang-remang,
saat anak-anak kecil menangis tidak mau dimandikan bapaknya, saat aroma masakan
ibu-ibu begitu menggiurkan, saat aku dan kakak menyapu halaman sebelum
berangkat sekolah, saat tetangga-tetangga mengayuh sepeda ataupun hanya jalan
kaki ke sawah, menyapa, kemudian curhat tentang panennya, dan berjanji akan
membawakan sekedar sayur mayur buat kami sekeluarga nanti. Semua itu tentunya
menjadi momen yang sangat berharga. Ukhuwah islamiyah yang masih lestari,
terjaga di kampung itu sampai saat ini. Persaudaraan yang benar-benar dilandasi
iman dan taqwa, yang akan kokoh, ikhlas, tanpa
direngkuh slimut kepentingan politik dan kekuasaan. Ukhuwah yang betul-betul
ingin membangun semangat persaudaraan sesama umat Islam. Seperti yang
diterangkan Rasulullah, “Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya
seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lainnya.”
sambil menjalinkan jari-jemari
beliau.
“Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lainnya.”
Bukan karena semua itu adalah tradisi
atau warisan yang harus dijaga, penulis juga tidak akan membahas bid’ah atau
tidaknya semua itu, atau apalah lainnya. Tulisan ini tidak akan menyelami samudera
pemikiran yang dalam
dan sering menenggelamkan itu, namun secara nyata terlihat dan
sekaligus kita akui bahwa semua itu yang dinamakan Islam. Siapapun yang merasa
sebagai muslim yang memiliki ghirah atau semangat keislaman, tidak akan
merelakan hal ini luntur begitu saja. Islam bukan hanya agama ibadah. Tetapi
merupakan the way of life “jalan
hidup”, mengatur segala urusan keduniaan sekaligus merancang
kehidupan akhirat yang kekal.
Secara nyata dapat kita lihat bahwa
ghiroh atau semangat keislaman yang anak-anak muda sekarang miliki sedikit demi
sedikit hambar. Rutinitas semacam itu tidak mereka rasakan meski mereka dengan
agak terpaksa mengikutinya. Apalah itu ukhuwah bagi mereka. Bukan tidak ingin
pula mereka merasakan ketentraman yang dijanjikan Allah, namun mereka terlalu
cupu membedakan semua itu. Mereka hanya bisa melihat apa yang dikerjakan
seseorang dan ketika orang itu ‘terlihat’ bahagia, maka mereka akan
mengikutinya.
Allah berfirman dalam surah
An-Nisa ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Maka di sinilah peran kita dan para orang tua, kita sebagai orang yang
setidaknya melihat lebih banyak gambaran orang yang hidup sejahtera, hendaknya
kita juga ‘mengucapkan kata yang benar’, menampilkan sosok yang sejahtera di
mata mereka, memberi teladan dan membantu mereka keluar dari permasalahan
tersebut. (Bandung, 2012)
Daftar
Pustaka
M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan
Al-Quran, Bandung:Mizan Pustaka
0 komentar:
Post a Comment