Membuka
social media, merupakan momentum
membuka mata bagi saya. Melihat realita, melihat logika, melihat segala bentuk
tingkah manusia, bahkan melihat air mata dan tawa dunia. Manusia yang dianugerahi
semua, otak, hati, kecerdasan dan naluri, yang suatu saat dengan mudah
dijomplangkan baik oleh cara berfikirnya, cara berperilaku, cara menghadapi
dunia, bahkan hingga cara mengenal orang lain.
Bahkan
hal seperti di atas lah yang pernah membuat saya sangat takut. Takut untuk lebih
berinteraksi dengan dunia meskipun itu juga hanya lewat social media. Saat ditanya, “Apa yang kau pikirkan sobat?” Sangat
terasa saya seakan hanyalah anak burung yang berkicau nyaring bukan untuk memanggil mamanya
tetapi hanya untuk mencari muka. Saat ditanya, “Kau anggota blablabla yah? Pemikiranmu
seperti mereka!” Bagai orang yang ditelanjangi padahal tiada baju yang melekat
di tubuh ini.
Namun
bukan itu kawan, mungkin kita sama, kita berusaha berbicara mengenai realita
yang kita lihat. Realita yang kita rasakan meskipun beberapa dari kita belum
genap bisa merasa. Berbicara, berpendapat, bahkan hingga bersumpah serapah,
adalah hak semua orang. Dan aku juga salah satu orang yang ‘sok merasa’ layak
untuk melakukan itu semua.
Hingga
akhirnya, suatu pisau datang. Bukan untuk menyayat hati tapi memang sangat
pedih untuk dirasakan. Sangat bersukur kala itu pisau mau untuk menajamkan sisi
pisau lain dalam diriku. Menajamkan apa yang aku sebut pisau akalku, menajamkan
apa yang aku sebut pisau pikiranku, dan semoga menajamkan ruhaniku. Memang hanya
sedikit dan mungkin akan berlanjut lain kali, semoga. Aku menyadari hal seperti
ini pun terjadi pada kalian semua wahai para pencari jati diri.
Hingga
sekarang, saya sering berkata, “Apa yang kau pikirkan sobat? Kau anggota
golongan apa? Hingga pikiranmu bisa seperti mereka” “Bodoh, hina, sok tahu!”
Tak merasakan apa yang dulu pernah terjadi padaku juga.
Pesanku
kawan, kita bukanlah orang yang sempurna, kita bukanlah orang yang akan bahagia
dengan sendirinya. Kita butuh orang lain meskipun orang itu kita rasa hina--ya hanya kita yang akan merasa dirinya hina--. Nikmatilah segala proses yang ada tanpa banyak bicara soal realita yang memang
belum genap dirasa, simpang siur di depan mulut dan belum sempat dikecap atau
memang sudah terlanjur tertelan hingga tidak sempat lidah ini mencicipinya. Kita tahu, melihat
makanan bukan hanya dari rasanya kawan, tapi dari bentuk bahkan hingga rupa dan
aromanya. Dari situlah apa yang kita cecap akan lebih berasa nikmatnya.
Kalau
boleh bercanda, saya pernah memakan haramnya daging tokek. Sangat gurih kawan,
menandingi gurihnya ikan bandeng, tuna dan lainnya. Sangat lembut di mulut. Namun
sekarang saya tidak akan mau mengulanginya setelah tahu itu haram, setelah tahu
bentuknya yang menjijikkan, dan setelah tahu akan aromanya yang kurang sedap. Saya harap
hal seperti ini tidak terjadi pada Anda semua.
Di
akhir kata, sempat saya bergurau dengan teman. Apakah harus kita
mendokumentasikan apa yang kita perbincangkan sekarang? Memfotonya atau merekamnya?
Melihat labilnya diri kita dan orang-orang di sekitar kita? Hingga akhirnya
kamipun tersadar, bahwa di saatnya nanti, di depan Yang Maha Kuasa, kita akan tersenyum
malu, menangis tersedu haru, atau Naudzubillah
menangis penuh sesal dengan dokumentasi sikap kita yang mau tidak mau harus
kita pertanggung jawabkan.
0 komentar:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.