(Sebuah Cerpen Kebangsaan)

Pagi mengintip dari kejauhan. Matahari telah muncul menampakkan keceriaannya. Dan coba lihatlah, kini ia bergulat dengan awan-awan yang berusaha menyembunyikannya. Sapaannya menghangatkan diriku dan semoga tetap menghangatkan ibu pertiwi  bersama anak-anaknya.
“Ngik ngik ngik” sepedaku merintih melewati pasar lama Kota Yogyakarta, Pasar Kotagede. Kesibukan benar-benar mewarnai kota ini. Unggas-unggas dalam kandang terjaja di sepanjang trotoar. Seakan-akan hari ini adalah hari seperti biasa dimana mereka hanya ditugaskan sebagai manusia pencari isi perut. Mereka tidak memperdulikan hari ini. Hari paling penting bagi Indonesia. Hari dimana aku akan mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rakyat Kotagede. Hari di mana tepat enam puluh enam tahun yang lalu warga Indonesia meneriakkan ‘Merdeka! Merdeka’.
Sejenak kuhentikan putaran pedalku. Mataku tersilaukan oleh pemandangan seorang bapak tua. Jalannya terpincang-pincang sambil menjajakan balon udara. Entah siapa yang mau membelinya.
“Copet …!  Copet !” teriakan orang-orang menggugurkan senyuman semangat empat limaku. Ada-ada saja, penjajahan terhadap diri sendiri ternyata masih terjadi. Bahkan di hari yang mungkin juga belum layak disebut hari kemerdekaan ini. Mataku masih kujalankan mengikuti orang yang diteriaki copet itu. Seketika ia juga menatapku.
“Aikh...” rintihku mengiringi keterkaparan si copet yang menabrak bapak tua peminta-minta yang entah kaki kirinya hilang dimana. Aku kembali terkejut setelah si bapak tua peminta-minta tadi berdiri tegap dengan kedua kakinya sambil mengacung-acungkan kepalan tangannya. “Ada-ada saja! Dia lupa skenario kakinya.”
Sepedaku kembali kujalankan. Lewat bapak-bapak tua tadi aku kembali teringat ayahku yang selalu menceritakan seorang misteriuser sejati. Merahputih, begitulah ayah biasa menyebutnya.
***
“Sebenarnya tidak ada yang tahu siapa nama aslinya, darimana ia datang, siapa bapak ibu dan sanak familinya? Semua orang tidak ada yang tahu.” Ayahku memulai ceritanya. Ayah kembali memakai caping yang telah lepas anyaman puncaknya. Panas matahari sore kembali melirik jidat ayahku. Kami pulang dari sawah. Menyusur samping Ring Road Selatan. Pelan-pelan ayahku menarik gerobak kecil tempat sisa jerami yang aku tumpangi. Cerobong-cerobong industri beserta kepulan asap tebalnya yang mengitari kota ini sesekali menutup terpaan sinar matahari. “Hanya saja lengannya selalu terbalut pita yang berwarna merah putih. ‘Merahptih, merahputih, merah dan putih’ begitulah ia selalu berdzikir.”
“Mengapa sampai-sampai tidak ada yang tahu semua itu yah?”
“Ayah sendiri tak habis pikir. Orang sehebat dia tak ada yang mengenal.”
“Satupun?”
“Ya, sa-tu-pun. Bahkan banyak yang bilang Merahputih itu gila. Adalagi yang membumbui bahwa Merahputih itu kerasukan rohnya salah satu pejuang kita, dia itu keramat, barang siapa yang mendekatinya maka ia akan kena balak dan ikut menjadi gila. Dan entah apa lagi yang orang telah katakan tentang Merahputih. Yang jelas Meraputih itu, orangnya hebat.”
“Ayah bilang dia hebat?” Aku masih kurang percaya pendapat ayahku.
“Hah...” nafasnya ia buang seraya memberhentikan gerobaknya yang aku tumpangi. Sekarang ia balik menyodorkan tatapannya padaku, “Orang yang hebat itu tidak harus jadi presiden dan kaya. Ingat ‘kesuksesan bukan dinilai dari hasilnya, melainkan prosesnya.’ Dia tak pernah melakukan yang namanya meminta bahkan mencuri. Tapi nyatanya, terahir kali ayahmu ini melihatnya di alun-alun itu, dia masih kelihatan sehat, bugar, waras. Meski baju yang memeluk erat tubuhnya telah rombeng entah dimakan debu jalanan, atau usianya sendiri yang turut memakan.” Ayah kembali menarik gerobaknya, “Sudahlah yang penting sekarang ini kamu harus rajin belajar dan kembangkan tanah airmu, Indonesia!”
***
Dari pinggir alun-alun, kupandang kelebat-kelebat kegagahan bendera Indonesia yang telah sukses kutenggerkan pada tiangnya. Tapi entah mengapa, mendung seakan-akan iri dengan kelebatan benderaku itu. Matahari yang pagi tadi menang gulat dengannya, kini telah tertutup. Hanya sedikit cahayanya saja yang belum mau kalah. Anginpun berhembus semakin kencang menambah rintihan besi yang menopang bendera. Memang beginilah. Bulan Agustus yang biasanya membawa aroma kering kemarau, kini tercemari mendung tebal, badai.
Kuarahkan laju kakiku menuju gerbang depan kraton yang sering ayahku tunjuk-tunjuk sebagai tempat munculnya Merahputih. Kembali kupantul-pantulkan pandanganku dari pojok gerbang satu hingga ke pojok yang lain. “Mungkin Merahputih sudah lupa dengan kemerdekaan negara Merah Putih.” Kepesimisan muncul dari ujung bibirku setelah aku tak berhasil menemukan Merahputih. Aku menapaki langkah kembali menuju sepeda kumbangku. Sepertinya hujan sudah kebelet turun.
“Au...!” Sebuah tangan muncul dari balik pepohonan pinggir pagar kraton, menghambat langkah kakiku.
“Hi hi hi hi.” Tawanya menanamkan kekalutan berbaur keheranan dalam benakku, “Jangan takut anak muda kebanggaan Merah Putih. Aku tidak akan memakan dikau.” Tangannya mendorong-dorong tanah, berusaha menjalankan tubuh tanpa kakinya. Seutas pita merah putih yang masih terlihat baru mengikat rapat perutnya, di tengahnya terganjal sebuah batu.  “O... yang ini nak.” Dia menjawab keherananku sambil menuding-nuding pita di perutnya. Seakan dia tahu yang kupikirkan, “Ya beginilah, setiap hari yang orang-orang bilang sebagai peringatan kemerdekaan itu, anak-anakku sok manis menghiasi perutku dengan pita baru, tanpa peduli kelaparan masih menggerogoti yang mereka hias!” Suaranya serak diahiri sebuah gelengan. “Mereka kira kelaparan yang mengidap diriku akan musnah hanya dengan pita ini?” Suaranya melemah. “Benar-benar tak tahu malu.” Sekarang ia buang pandangannya ke langit.“Dulu, kemana-mana aku diarak dengan kereta kencana, berwibawa bukan main. Meski kakiku masih utuh. Si Gajah itu, Singa Putih itu, Lumbung Padi yang mana di masa kecilku dulu tak memiliki padi, merengek-rengek mengiba kepadaku, memohon perlindungan. Kemudian anak-anakku terlena, salah satu kakiku yang berotot di Papua sana, disumbangkan suka rela kepada negara yang menjadi adikuasa di masa ini lantaran salah satu kakiku itu.” Nafasnya tersengal-sengal. “Tapi kini,” Lagi nafasnya tersengal-sengal kembali, “Mereka dengan senang hati menginjak-injak diriku yang mulai lumpuh dan hanya bisa menjalankan, pantat ini.”
Pelan-pelan aku berusaha mendekati dirinya. Kuusap pundaknya, berharap warna merah dimukanya padam.
“Bahkan tak hanya mereka.” Sekarang tangannya beralih menunjuk lengannya yang telanjang, kembali mengagetkanku. “Tetangga dekatku sendiri, berani-beraninya menarik-narik kain yang dulunya melekat di lenganku ini.” Sekarang dia kebingungan menghadapkan wajahnya. Tangannya menambah acak-acakan rambutnya.
Aku haya bisa diam. Pandanganku menekuri lekuk tanda ketuaan usianya.
“Heh anak muda!” Jelas-jelas sekarang ia memanggil aku.
“Aku?”
“Kamu bangga bisa menaikkan bendera itu kesono?”
“Jelas bangga pak, itu tandanya kita mendapat kepercayaan dari rakyat untuk mengibarkan simbol negara Indonesia.”
“Simbol? Simbol yang hanya kalian akui saja?”
Mendapat pertanyaan ini, aku aku berusaha memberi penjelasan, berfikir sejenak, “Gini pak...”
“Halah!” Dia malah memotong jawabanku. “Hanya begitulah anak-anakku di masa ini. Banyak tafsiran muncul dari ujung congor anak negeriku. Tapi kenapa juga masih kalah dengan si putih dengan tompel merah di tengahnya? Dan sekarang, apa yag akan kamu lakukan jika Merah Putihmu,” pelan dia menuding bendera merah putih di tengah alun-alun, seraya berbisik, “Seperti itu.”
Kelebatan bendera tiba-tiba bergetar dan melayang menjaui tiangnya, putus. Aku berusaha berlari mengejar. Dan akhirnya aku hanya dapat memandang kelebatan lemah itu jatuh ke tanah.
“Kenapa kau lakukan itu?” aku balikkan tubuhku berharap menemukan si bapak tua tadi. “Merahputih...!!!”


--Muhammad Muhaimin, Jogja 2009--

0 komentar:

Post a Comment

 
Top